Ini dia 7 angka sempurna yang selalu membahas dan menampilkan daftar 7
yang populer dan kali ini kita akan membahas mengenai
7 penyebab pendidikan di Indonesia berkurang pasti pada penasaran
kan? Baik ketimbang pada penasaran terus pantengin aja dan ikutin terus
ulasan kita disini.
Mutu pendidikan suatu bangsa merupakan cerminan dari bangsa tersebut. Jika
pendidikannya berkualitas, maka bisa dipastikan bangsa tersebut merupakan
bangsa yang besar dan menghargai pendidikannya. Salah satu tolok ukur yang
menjadi keberadaban bangsa adalah kualitas pendidikannya yang bermutu
Indonesia. Sebagai salah satu negara yang berkembang, tingkat pendidikan di
Indonesia masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara-negara
lainnya. Sistem pendidikan yang masih berpusat di Kota merupakan problema
bangsa ini yang hingga saat ini belum tuntas juga. Pendidikan yang tidak
merata, khususnya di daerah terpencil seakan seperti mata rantai yang tak
pernah putus ujungnya.
Pendidikan merupakan tonggak suatu bangsa yang tidak bisa di tawar lagi.
Jika pendidikannya baik, maka di jamin generasi penerus bangsa akan bisa
meneruskan segala problema bangsa ini dengan baik pula. Sebagai generasi
muda, ayo kita turut membangun mutu pendidikan yang lebih baik tentunya.
Sebenarnya apa saja yang menyebabkan mutu pendidikan di Indonesia berkurang?
Temukan dan simak fakta Berikut ini
7 penyebab pendidikan di Indonesia berkurang
yuk lanjut;
1. Pembelajaran hanya terpaku pada buku
Sistem yang hanya berpaku pada buku paket inilah yang perlu di ubah
persepsinya. Sebuah buku memang diperlukan sebagai bagian dari proses
belajar mengajar, namun tidak harus berpaku pada buku tersebut. Selama ini,
mahasiswa hanya berkutat dengan buku-buku yang sudah di tentukan oleh para
pendidik.
Sehingga mahasiswa tidak memiliki wawasan yang luas dan hanya berkutat pada
seputar buku tersebut. Sudah sebaiknya sistem ini diubah. Pembelajaran yang
baik adalah pelajaran yang berasal dari sumber manapun. Dengan catatan
sumber referensi tepercaya. Di zaman teknologi yang serba canggih seperti
saat ini, mencari informasi dan referensi bisa secepat kilat. Dengan hanya
bermodal koneksi internet, semua bisa didapatkan.
Maka jangan heran jika saat ini generasi bangsa ini menjadi malas membaca.
Kehadiran buku paket, hanya akan menjadi buku formal dan hanya sebagai
kewajiban yang semata-mata dibeli oleh siswa yang bersangkutan. Jika sudah
begitu, jangan harap siswa akan membaca buku tersebut. Mayoritas guru akan
mewajibkan siswa tersebut untuk membeli buku. Hal inilah yang salah. Karena
nantinya siswa akan berpikir akan mendapat nilai jelek jika tidak membeli
buku tersebut.
Sekilas menilik pembelajaran di Indonesia belakangan ini, beberapa tahun
sebelumnya sudah mengalami beberapa perubahan. Mulai dari beberapa kurikulum
dari KBK hingga menjadi KTSP. Hampir setiap menteri mengganti kurikulum lama
dengan kurikulum yang baru. Namun, adakah yang berbeda dari kondisi
pembelajaran di sekolah-sekolah? TIDAK. Karena pembelajaran di sekolah sejak
jaman dulu masih memakai kurikulum buku paket.
Sejak era 60-70an, Pembelajaran di kelas tidak jauh berbeda dengan
sebelumnya. Apapun kurikulumnya, pendidik hanya mengenal buku paket. Materi
dalam buku paketlah yang menjadi “ACUAN” pengajaran guru. Sebagian Guru
Tidak pernah mencari sumber referensi lain sebagai acuan belajar.
Hingga kini diterapkanlah kurikulum baru. Yakni, Kurikulum 2013 yang menjadi
acuan pembelajaran saat ini. Kurikulum yang dicetuskan mantan Menteri
Pendidikan, Moh. Nuh ini banyak menuai protes karena tidak sesuai dengan
kemampuan siswa. Siswa dituntut untuk lebih lama di sekolah dengan berbagai
kegiatan akademik yang berjalan hingga sore hari. Sistem Pekerjaan Rumah
(PR) yang begitu banyak sehingga membuat siswa jenuh.
Belum lagi, dengan masalah guru yang bersangkutan. Guru juga dituntut hanya
sebagai fasilitator saja di dalam pembelajaran. Hal ini memang mendorong
siswa menjadi aktif, namun tidak menutup kemungkinan siswa hanya akan
menjadi generasi 'copas' (copy paste). Karena siswa akan berpikir dengan
menempuh cara yang mudah dan cepat, yakni mencari sumber referensi dari web
apapun. Padahal informasi tersebut belum tentu merupakan sumber referensi
yang bisa dipercaya dan belum tentu benar.
2. Pembelajaran hanya diterpakan dengan 'Metode Ceramah'
Fenomena yang terjadi saat ini di tingkat sekolah adalah masih diterapkannya
pembelajaran dengan metode sistem ceramah yang kurang efektif. Metode
ceramah memang diperlukan, namun hanya sebagai pengantar saja pada sistem
pembelajaran.
Jika sudah memasuki bab yang akan dibahas, metode dengan menggunakan sistem
diskusi tentu lebih baik untuk diterapkan. Dari diskusi inilah, siswa akan
di ajak untuk meningkatkan kemampuan nalarnya lebih luas lagi. Berbeda
dengan metode ceramah, hanya akan membuat siswa menjadi mengantuk. Bukannya
bisa menyerap materi pelajaran yang disampaikan guru, siswa akan cenderung
lupa atau bahkan tidak mengerti sama sekali terhadap apa yang guru
sampaikan.
Mungkin metode pembelajaran yang menjadi favorit sebagian guru hanya satu,
yaitu metode berceramah. Karena berceramah itu mudah dan ringan, tanpa
modal, tanpa tenaga, tanpa persiapan yang rumit, Metode ceramah menjadi
metode terbanyak yang dipakai guru karena memang hanya itulah metode yang
benar-benar di kuasai sebagaian besar guru.
Pernahkah guru mengajak anak berkeliling sekolahnya untuk belajar?
Pernahkah guru membawa siswanya melakukan percobaan di alam lingkungan
sekitar? Atau, pernahkah guru membawa seorang ilmuwan langsung datang di
kelas untuk menjelaskan profesinya? mungkin hanya satu alasannya, yaitu
Biaya. Lagi dan lagi terkendala dengan masalah biaya.
Mungkin, sebagian guru berpikir, dengan menuntaskan tugasnya untuk mengajar,
hal itu sudah lebih dari cukup karena tidak ada anggaran dana untuk hal itu.
Di sinilah kesejahteraan seorang guru perlu dipertimbangkan. Karena guru
merupakan generasi pencetak bangsa.
Guru hanya menyampaikan apa yang ia ketahui tanpa mendapatkan
feedback dari anak didiknya. Sehingga siswa cenderung menelan begitu saja
informasi yang diterimanya. Apakah ini merupakan suatu pembelajaran yang
efektif ? Tentu saja tidak, karena siswa hanya sebagai penerima informasi,
bukan sebagai anak didik yang bisa mengembangkan ilmunya lebih luas lagi.
Metode ceramah memang sangat baik diterapkan guna memberikan contoh dan
informasi yang akan disampaikan kepada siswa. Namun, metode ceramah ini
sebaiknya dilakukan pada saat yang tepat. Misalnya, pada saat diskusi, jika
ada siswa yang kurang mengerti maka siswa tersebut meminta penjelasan lebih
lanjut pada guru yang bersangkutan. Inilah saatnya guru memberikan ceramah
secara lengkap dan jelas mengenai mata pelajaran yang tidak dimengerti.
3. Kurangnya sarana belajar
Fasilitas turut menunjang di dalam proses kegiatan Belajar Mengajar. Jika
tekad belajar sudah bulat namun tidak didukung oleh fasilitas, tentu akan
sia-sia jadinya. Bisa di lihat, dari sarana dan prasarana yang kurang
terjadi di sekolah-sekolah terpencil. Berbeda halnya yang terjadi di
kota-kota besar. Dengan fasilitas yang cukup lengkap dan memadai, mereka
bisa mengenyam pendidikan dengan baik.
Kesadaran pemerintah dalam meningkatkan fasilitas sarana belajar perlu
dipertanyakan. Setiap sekolah berhak mendapatkan fasilitas yang lebih baik
tentunya, begitu juga dengan siswa. Setiap siswa juga berhak mendapatkan
fasilitas yang memadai guna menunjang proses pembelajarannya.
Sekolah-sekolah di daerah terpencil juga sangat membutuhkan sarana belajar
yang memadai juga. Segala aspek keterbatasan yang ada di dalamnya, perlu
menjadi perhatian kita semua untuk membangun dan mengembangkan sarana yang
lebih baik.
Jika sarana belajar terbatas, maka kegiatan belajar mengajar juga akan akan
terbatas. Sebagai contoh: Suatu sekolah di daerah yang membutuhkan
perpustakaan, sebagai sarana penunjang belajar tidak terpenuhi. Maka bisa
dipastikan kegiatan belajarnya juga akan sangat terbatas. Karena kurangnya
sumber referensi yang bisa dijadikan rujukan dalam proses belajar.
Lain halnya dengan fasilitas sekolah-sekolah yang ada di kota. Segalanya
tersedia di sana. Bukan hanya sekedar perpustakaan, di kota-kota besar
sekolahnya telah dilengkapi dengan perpustakaan digital yang super canggih.
Bukan hanya sekedar perpustakaan, melainkan juga fasilitas laboratorium yang
super lengkap. Inilah letak perbedaan yang yang signifikan antar sekolah di
daerah dan sekolah di perkotaan. Tugas besar yang hingga hari ini masih
menjadi tugas kita semua.
4. Peraturan yang terlalu mengikat
Peraturan diterapkan yang selama ini di terapkan di sekolah-sekolah
cenderung mengikat siswa dalam peraturan yang di buat oleh sekolah.
Peraturan berfungsi sebagai suatu pedoman yang mengatur siswa. Peraturan
memang penting, namun tidak seharusnya bersifat mengikat. Siswa boleh diberi
kebebasan namun harus sesuai norma-norma yang berlaku.
Ini tentang KTSP, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, yang seharusnya
sekolah memiliki kurikulum sendiri sesuai dengan karakteristiknya. Namun,
apa yang terjadi? Karena tuntutan RPP, SILABUS yang “membelenggu”
kreatifitas guru dan sekolah dalam mengembangkan kekuatannya.
Yang terjadi RPP banyak yang jiplakan (bahkan ada loh RPP dijual bebas,
siapapun boleh meniru). Padahal RPP seharusnya unik sesuai dengan kondisi
masing-masing sekolah. Administrasi-administrasi yang “membelenggu” guru,
yang menjadikan guru lebih terfokus pada administrator, sehingga guru lupa
fungsi utama lainnya sebagai mediator, motivator, akselerator, fasilitator,
dan lainnya
5. Guru tidak menanamkan soal "Bertanya"
Suatu proses pendidikan yang sukses, diawali dengan siswa atau mahasiswa
yang sangat aktif. Di Indonesia, hal bertanya masih jarang di terapkan.
Padahal, bertanya merupakan jalan siswa untuk memahami materi pelajaran yang
disampaikan lebih dalam. Melalui bertanya semua yang masih belum jelas
menjadi lebih jelas atau mungkin bisa di kembangkan lagi lebih luas.
Lihatlah pembelajaran di ruang kelas. Sepertinya sudah diseragamkan. Anak
duduk rapi, tangan dilipat di meja, mendengarkan guru menjelaskan.
seolah-olah Anak “Dipaksa” mendengar dan mendapatkan informasi sejak pagi
sampai siang, belum lagi ada sekolah yang menerapkan Full Days.
Anak diajarkan cara menyimak dan mendengarkan penjelasan guru, sementara
kompetensi bertanya tak disentuh. Anak-anak dilatih sejak TK untuk diam saat
guru menerangkan, untuk mendengarkan guru. Akibatnya Siswa tidak dilatih
untuk bertanya. Siswa tidak dibiasakan bertanya, akibatnya siswa tidak
berani bertanya.
Selesai mengajar, guru meminta anak untuk bertanya. Heninglah suasana kelas.
Yang bertanya biasanya anak-anak itu saja. Hal ini bisa saja terbawa hingga
ke Pendidikan Tinggi. Rasa respect terhadap suatu materi pelajaran sangat
kurang. Sehingga siswa cenderung cuek terhadap apa yang di sampaikan
gurunya.
Fenomena cuek terhadap suatu materi pelajaran, banyak terjadi di bangku
perkuliahan. Biasanya hanya orang-orang tertentu saja yang memiliki rasa
ingin tahu yang lebih luas. Jika sudah begini, siapa yang patut disalahkan?
tidak ada yang tahu. Namun, bukan tugas kita untuk saling menyalahkan.
Tugas kita adalah memperbaiki sistem pembelajaran yang masih kurang efektif
ini. Bertanya merupakan jembatan siswa dalam memahami materi pelajaran yang
di sampaikan oleh guru yang bersangkutan. Jadi, pada zaman sekarang tidak
lagi belaku pepatah “Malu Bertanya Sesat di Jalan”, melainkan Malu Bertanya
tidak akan Paham”
6. Metode pertanyaan terbuka tidak dipakai
Apa itu metode pertanyaan terbuka? Metode pertanyaan terbuka merupakan
metode ujian dengan memberikan soal, tetapi mahasiswa boleh menjawab soal
tersebut dengan membaca buku. Metode ini diterapkan oleh negara Finlandia
dan merupakan salah satu ciri dari negara tersebut.
Sebagai negara yang menduduki peringkat pertama pada kualitas pendidikannya,
Finlandia tidak takut untuk menerapkan metode tersebut. Sebaliknya menuai
kesuksesan. Terbukti, dengan ditempatkannya negara tersebut pada posisi
teratas dalam kualitas pendidikannya.
Bagaimana dengan di Indonesia? Indonesia masih terkesan takut dalam
menerapkan sistem pertanyaan terbuka ini. Pendidik seakan takut dan berpikir
mahasiswanya nanti akan banyak yang menyontek. Pendidik di Indonesia belum
siap menerapkan ini karena masih kesulitan membuat soal terbuka. Soal
terbuka seolah-olah beban berat. Mendingan soal tertutup atau soal pilihan
ganda, menilainya mudah, begitu kira-kira alasan pendidik pada zaman
sekarang.
Jika hanya jalan mudah yang di pikirkan tanpa memperhatikan aspek
yang lebih luas, yakni aspek pemahaman siswa, maka pendidikan di Indonesia
tidak akan pernah maju. Metode pertanyaan terbuka merupakan sistem
pendidikan baru yang bisa di terapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia.
Dengan sistem ini, memungkinkan siswa lebih memiliki daya berpikir yang
kreatif dan bisa mengembangkan ilmu yang didapatnya. Siswa tidak harus
terpaku pada soal-soal yang di berikan melainkan bisa menjawab soal dengan
daya pikirnya sendiri.
Kebiasaan menjawab soal dengan metode menghafal sudah sangat sering
diterapkan di Indonesia. Sistem menjawab soal dengan seperti ini cenderung
membebani para siswa. Siswa di tuntut untuk selalu mengingat sesuai dengan
yang ada di buku. Padahal daya ingat sifatnya terbatas. Sehingga metode
ujian pertanyaan terbuka ini sangat tepat bila di terapkan di Indonesia.
Siswa-siswi di seluruh Indonesia akan menyambut dengan antusias metode
menjawab dengan pertanyaan terbuka ini. Hal ini dikarenakan pikiran siswa
akan enjoy dalam menjawab soal-soal yang di ajukan.
Menerapkan budaya metode pertanyaan terbuka, memang tidak harus
selalu diterapkan secara instan. Bisa dengan metode perlahan-lahan agar
siswa tidak kaget jika metode pertanyaan terbuka ini di terapkan. Sebenarnya
budaya metode pertanyaan terbuka sudah bisa diterapkan di Indonesia, namun
realisasinya masih dalam tahap wacana.
Selain itu, dengan adanya metode pertanyaan terbuka seorang siswa juga akan
dituntut untuk memahami buku lebih luas. Secara otomatis, metode pertanyaan
terbuka ini mendorong siswa untuk gemar membaca.
7. Budaya 'Menyontek'
Terakhir, adalah fakta tentang 'menyontek'. Satu kata yang mungkin sudah
mendarah daging pada generasi terdidik bangsa ini. Fenomena menyontek seakan
bukan lagi menjadi hal yang tabu pada saat ujian. Menyontek merupakan suatu
tindakan yang bertujuan mencari jawaban dengan cara bisa bertanya kepada
teman atau pun dengan cara membuat catatan kecil yang disimpan di dalam
saku.
Sebenarnya hal apa sih yang membuat seseorang menyontek? Menyontek dilakukan
karena orang tersebut merasa tidak bisa menjawab atas pertanyaan yang
diajukan atau mungkin orang tersebut merasa kurang yakin atas jawaban yang
dibuatnya sendiri. Kebiasaan menyontek ini bisa hadir karena sejak kecil
kita telah di tanamkan untuk menyontek. Kebiasaan-kebiasaan pada saat kecil
inilah yang mendarah daging hingga Perguruan Tinggi.
Kebiasaan menyontek tidak serta merta bisa dimusnahkan begitu saja.
Perlu penanaman karakter untuk menghilangkan kebiasaan yang tidak baik
tersebut. Penanaman dengan lemah lembut dan penghapusan kebiasaan menyontek
secara perlahan bisa secara menghilang secara kontinyu.
Di negara-negara maju, kebiasaan menyontek hampir jarang di temui. Hal ini
dikarenakan pertanyaan-pertanyaan yang ada di dalam soal bersifat objektif.
Sehingga berbagai pertanyaannya bisa di jawab sesuai dengan pengetahuan yang
di miliki oleh siswa tersebut.
Bisa di contoh, seperti beberapa kampus yang menerapkan larangan untuk
menyontek. Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), merupakan salah satu
kampus yang menerapkan larangan untuk menyontek. Sekali ketahuan menyontek,
maka langsung di Drop Out. Hal ini merupakan suatu metode pendidikan yang
patut untuk dicontoh dan diterapkan di kampus lainnya. Metode ini bisa
menciptakan lulusan yang berkompeten dan berkualitas.
Terlepas dari semua kasus yang menimpa alumni STAN, sistem pembelajaran
seperti yang di terapkan di kampus yang menghasilkan abdi negara di bidang
perpajakan ini sangat efektif untuk memusnahkan budaya menyontek. Tidak
main-main, sanksinya bagi yang melanggar peraturan ini ialah di DO (Drop
Out).
Jika semua kampus menerpakan sistem DO bagi yang menyontek, pasti 5 atau 10
tahun mendatang Indonesia akan memiliki generasi-generasi bangsa profesional
dan amanah. Tidak hanya menjalankan tugasnya, melainkan ia mampu terhindar
dari korupsi.
Budaya menyontek sesungguhnya merupakan akar budaya dari tindak korupsi.
Mengapa demikian? Karena dari hal menyontek, seseorang akan di ajarkan untuk
mendapatkan sesuatu yang di inginkan tanpa harus bekerja keras. Jika
kebiasaan seperti ini di bawa hingga terjun ke dunia kerja nanti, bukan hal
yang mustahil jika orang tersebut akan melakukan tindakan korupsi.
Tindakan korupsi di Indonesia banyak terjadi karena penanaman karakter yang
terlanjur salah di ajarkan ketika ia masih kecil. Sehingga orang yang
bersangkutan akan mempelajari hal lain yang berasal dari lingkungan
sekitarnya. Jika lingkungan sekitarnya baik, maka baik pula karakter yang
dimiliki orang tersebut. Sebaliknya, jika karakter sekitar lingkungannya
negatif, maka orang tersebut akan terbawa negatif juga.
Untuk menerapkan sistem pendidikan Indonesia yang bebas dari kegiatan
menyontek, perlu suatu kerja sama yang solid antara semua kalangan. Bukan
hanya tugas pemerintah, melainkan juga tugas kita semua dalam menjaga mutu
pendidikan di Indonesia ini. Hal apa yang bisa kita lakukan? Bisa dengan
membuat gerakan anti menyontek. Dengan adanya gerakan ini, kita bisa bekerja
sama dan saling bersinergi untuk mewujudkan Indonesia yang cerdas tanpa
menyontek.
Itulah tujuh fakta yang menyebabkan pendidikan di Indonesia berkurang.
Sebagai generasi penerus bangsa sudah menjadi tugas kita dalam turut serta
memajukan sistem mutu pendidikan di negeri ini. Kita ubah pola pemikiran
yang bisa menyebabkan mutu pendidikan kita menjadi rendah.
Ada berbagai hal yang bisa kita lakukan untuk mengubah sistem mutu
pendidikan yang lebih baik di negeri kita ini. Yakni, dengan menanamkan
nilai-nilai moral yang patut kita terapkan pada masa-masa anak usia emas,
yakni masa-masa di Taman Kanak-Kanak (TK).
Satu hal lagi yang lebih penting, pendidikan berkarakter merupakan acuan
utama dalam sistem pendidikan di Indonesia ini. Pendidikan berkarakter akan
mempermudah anak dalam mengembangkan bakatnya, sehingga dalam mempelajari
suatu ilmu di sekolahnya, ia akan bisa menyerap pelajaran sesuai dengan daya
minatnya.
Sekian dulu pembahasan kita kali ini mengenai
7 penyebab pendidikan di Indonesia berkurang jika ada yang mau
ditambahkan atau ada yang mau ditanyakan silahkan tulis di kolom komentar
ya dan artikel ini bisa anda download silahkan diklik
7 penyebab pendidikan di Indonesia berkurang
berbentuk file pdf.
0
comments:
Posting Komentar
Silahkan jika ada pertanyaan dan beri tanggapan anda dengan berkomentar disini ...
0 comments:
Posting Komentar
Silahkan jika ada pertanyaan dan beri tanggapan anda dengan berkomentar disini ...